sejarah GOA TAPPARANG (RANTE BARU)




Gua Tappareng Kolaka Utara

Konon, seluruh dinding Gua Tapperang Pasongi yang terletak di bukit Desa Rante Baru Kecamatan Rante Angin Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) berwarna putih bersih dan nampak mencolok dengan identitas nilai-nilai keluhurannya. Kini auranya mulai pudar. Namun, Gua itu dikisahkan banyak kisah mistis di dalamnya. Objek Wisata Goa Pasongi atau gua laut yang dijunjungkan jaraknya dari ibu kota kabupaten Kolut menghabiskan waktu 41 Km. Untuk menuju lokasi, pengunjung kerap menitip kendaraan pada salah seorang rumah warga di desa itu. Dari depan rumah tempat penitipan kendaraan itu pula bersebelahan dengan rute menuju lokasi gua yang hanya dibatasi jalur poros Trans Sulawesi Kolaka-Luwu Timur. Kita akan diperhadapkan dengan jalan setapak dan langsung berjalan menanjak, merayap, menyusup diantara lebatnya rumput liar searah jarum jam pukul 11.00 Wita. Kondisi bukit cukup curam lagi berbatu tetapi jaraknya hanya kurang lebih 50 meter saja dari jalan raya. Langit-langit dan dasar Gua Tappareng itu dihiasi stalaktit dan stalagnig yang unik. Bunyi dentuman tetesan air dari ujung batu  kerucut yang terbentuk dari kucuran bola bening itu nampak terdengar jelas di telinga secara bergantian. Suara risih burung walet pun bersahut-sahutan dan beterbangan kesana kemari. Jika diukur, luas mulut gua diperkirakan kurang lebih 20-30 meter persegi dan menghadap searah terbenamnya matahari.

Di dalam gua itu terdapat genangan air sedalam dada-heler orang dewasa yang jernih. Kita akan berjalan menurun dengan kemiringan 80 derajat dengan berjarak 15 meter dari mulut gua. Tempat ini kerap dikunjungi masyarakat untuk sekedar melepas penat maupun membersihkan badan dengan berendam. Di lokasi saya menjumpai beberapa orang yang kebetulan hendak kembali dengan membawa sebuah karung berisi bongkahan-bongkahan batu lengkap dengan palu di tangan yang habis dipreteli dalam goa untuk dijadikan batu permata cincin ala Indonesia masa kini. Selang beberapa menit, kepergian beberapa orang itu diikuti kedatangan dua orang laki-laki dan perempuan dengan sebuah bungkusan kain entah apa di dalamnya di diikat erat. Lama berbincang-bincang, lelaki yang kemudian memperkenalkan namanya bernama Batte (115), warga Tamborasi itu mengaku selaku penjaga goa tersebut selama ratusan tahun. Fisiknya terlihat masih kuat dan nampak lebih muda dari usia yang diakuinya. Ia sendiri berencana memasuki gua itu bersama seorang ibu-ibu yang ia perkenalkan dari Bombana untuk diantar ke dalam gua. Tak ingin terbuka, dia berkata hanya sekedar datang berkunjung ke tempat itu melakukan siarah. Tetapi, jika diamati dari apa yang ia bawah, seperti kebiasaan orang yang datang untuk melepas nazar atau semacamnya. Dalam kesempatan yang singkat itu Batte berkisah, konon katanya gua tersebut memiliki dinding yang berwarna putih keseluruhan dan bersih. Saat matahari tenggelam, cahaya bola angkasa itu akan menyinari mulut gua hingga menimbulkan bias cahanya pantulan oleh dinding yang berkilau dari jauh. Namun, keadaan itu saat ini berubah drastis dan berwarna coklat hingga kehitam-hitaman yang diungkapkannya akibat perilaku pasangan muda-mudi yang terkadang melakonkan adegan mesum di tempat tersebut. Ia sendiri menamakan gua itu sebagai "Gua Bulu" atau gua di atas bukit. Dibeberkan, tak hanya sekedar kolam berair tawar, tempat tersebut diungkapkan berdiam seorang wali tetapi tanpa menjelaskan secara gamblang perihal tersebut. Gua itu memiliki lambung atau ruang yang luas di dalam dan ukurannya menyerupai bentuk sebuah masjid. Untuk menuju ke sana diperlukan sebuah senter dengan berenang dan berjalan membungkuk. Jarang orang bisa menembus sampai ke gerbang yang diungkapkan dihuni banyak penjaga mulai dari lipan-ular sebesar paha manusia yang dipercaya sebagai penjaga. Lagi pula, hanya orang yang bernyali yang mau menelusuri lorong-lorong goa itu karena kondisinya yang gelap gulita. Di lambung gua itu terdiri dari dua terowongan. Keberadaan sebuah patung yang dinilai layaknya orang sedang duduk bertahiyyat (beribadah) itu juga ada di posisinya tempat yang lebih curam. Seseorang harus membutuhkan sebuah tali untuk menuruninya secara vertikal. Dikemukakan bahwa di tempat itu pula terdapat sungai bawah tanah yang mengalir cukup jernih. Jika digambarkan, ada beberapa jalur yang menempati ruang-ruang kantong udara dalam objek tersebut yang punya jalur sendiri-sendiri dan bertingkat-tingkat. 

Sedangkan di lokasi yang memiliki ruang layaknya masjid, dikemukakan terdapat sebuah gerbang yang dipenuhi dekorasi. Di dalamnya terdapat benda-benda pusaka dan semacamnya beserta sebuah ukiran kaligrafi berlafas Allah dan Muhammad yang melekat di dindingnya. Berdasarkan kisahnya dan cerita yang juga dari masyarakat setempat, pernah beberapa orang yang masuk ke tempat tersebut berasal dari Bombana dan berhasil menelusuri tempat dimana patung yang digambarkan layaknya sesosok manusia berkerudung dalam posisi duduk tasyahud dalam shalat dengan meluruskan jari telunjuk. Tanpa basa-basi seseorang diantaranya berusaha memotong jari patung itu karena dianggapnya sebuah emas untuk dibawah pulang. Mulai saat itulah dikabarkan sakit-sakitan hingga informasi terakhir disampaikan telah meninggal dunia. 

Batte yang terbuka mengaku sebagai mantan penjaga kuda Kahar Muzakkar di masa hidupnya itu, mengemukakan sudah kerap kali memasuki goa tersebut sejak masa bergerilya tempo penjajahan Belanda. Kala itu ia menghabiskan waktu sebulan lamanya bermalam di dalam perut goa sebagaimana ia ungkapkan dalam bahasa bugis. “Pakampi jaranna ka Kahar Musakkar tempo gurilla. Wattunna rontai samanna Balanda monro ka ma benni siuleng ilaleng goa,” beberapa pria yang tidak tahu berbahasa Indonesia itu. Ia mengungkapkan, ketika itu dirinya menjaga 14 kuda milik Kahar. Dirinya memang pernah lama bertempat tinggal di Rante Baru kurang lebih 50 tahun lalu sebelum mekar dan masih bernama Rante Angin secara keseluruhan. Sepanjang masa hidupnya di tempat itu ia habiskan dengan berkebun kelapa sebelum menetap di Tamborasi. Atas dasar itulah sampai saat ini banyak orang di luar kabupaten maupun provinsi yang tetap mencari dirinya agar bisa diantar menuju ke tempat itu. Sebelum memasuki lubang bawah tanah tersebut usai mengakhiri kisah itu, Bette terlihat lebih dahulu berjalan ke sisi kanan dan dan kiri mulut gua yang dikemukakan untuk menyampaikan ucapan salam dan izin kepada penunggu yang menurutnya menetap sepasang kera putih. Pada kesempatan yang sama, cerita-cerita yang disampaikan Batte juga dibenarkan oleh warga Rante Baru, Mirdin saat ditemui di kediamannya. Ia sedikit menambahkan, konon suara-suara kerap terdengar dari dalam gua layaknya orang melulo maupun menumbuk padi. “Persis kayak ada orang tinggal di dalamnya (gua),” katanya. Tentang keberadaan benda-benda yang ada di dalamnya dia juga membenarkan. Pernah dikatakan ada orang yang menjarah barang antik tersebut seperti guci, piring dan semacamnya. Itu banyak dikabarkan orang ketika usianya seumuran SD atau tahun 1970 an. Dikatakan, terkadang orang dari luar wilayah itu dahulunya sengaja datang memancing ikan atau menangkap udang, setelah dibawa pulang berubah wujud menjadi batu.

Menurut cerita dan pengalaman orang tua pada masa tersebut, pada dasarnya gua tappareng memiliki pasangan yang tidak jarang bisa dijumpai terkecuali dalam keadaan kesasar. Nah, di gua yang satu itulah juga dijumpai tiga gong besar berwarna emas serta sebuah tombak merah. “Pernah ada orang kesasar yang menemukan tempat itu sebelum magrib. Saat gong-nya ia pukul katanya langsung mendung hingga ia pulang terlebih dahulu supaya besok datang lagi untuk mengambilnya. Katanya jalan pulangnya sudah dikasi banyak tanda tetapi besoknya hilang semua. Kita juga kadang naik rame-rame mencari tapi tidak pernah ketemu,” tuturnya. Ia sendiri membenarkan warna ciri khas Gua Tappareng itu yang dinilai berkilau dahulu kala. Bahkan, air dalam gua tersebut konon ramai diambil orang-orang pendatang sebagai obat penawar guna-guna (ilmu hitam). Tempat itu dikatakan sudah dikenal banyak orang dari luar Sultra seperti Kajang dan beberapa tempat lainnya di Sulawesi Selatan dengan berkunjung secara langsung. “Katanya sih airnya menyembuhkan, karena saya lihat mulai saat itu semakin banyak orang yang datang. Mungkin saja betulan,” kata pria kelahiran 15 Februari 1964 itu.

Komentar

Posting Komentar